Ketika kaum muslimin mengetahui bahwa Rasulullah masih hidup, serentak
mereka bangkit menuju beliau. Selanjutnya beliau berjalan menuju gunung
Uhud bersama mereka dengan dikawal abu Bakar ash-Shiddiq, Umar bin
Khatthab, Ali bin Abi Thalib, Thalhah bin Ubaidilah, az-Zubair,
al-Harits bin ash-Shammah, dan beberapa orang dari kaum muslimin. Ketika
Rasulullah mendaki jalan menuju gunung Uhud, beliau berpapasan dengan
Ubay bin Khalaf yang kemudian bertanya kepada beliau: “Hendak pergi
kemanakah engkau, wahai Muhammad? Aku tidak akan selamat jika engkau
selamat.” Para sahabat berkata: “Wahai Rasulullah, pantaskah seseorang
di antara kita bersikap ramah kepadanya?” Beliau bersabda: “Biarkan
dia.”
Ketika Rasulullah SAW., telah dekat dengan Ubay bin Khalaf, beliau
mengambil tombak dari tangan al-Harits bin ash-Shimmah. Sebagian perawi
mengatakan bahwa ketika Rasulullah mengambil tombak tersebut dari tangan
al-Harits bin ash-Shammah, tiba-tiba beliau tergoncang dengan goncangan
yang hebat yang membuat kami berterbangan dari beliau seperti lalat
berterbangan dari punggung unta. Rasulullah maju ke arah Ubay bin Khalaf
lalu menikam lehernya hingga terjatuh berkali-kali. Dahulu Ubay bin
Khalaf pernah berjumpa dengan Rasulullah di Makkah. Ketika itu ia
berkata kepada beliau: “Hai Muhammad, aku memiliki kuda bernama al-Audz
yang aku beri makan dua belas kwintal setiap hari, agar kelak aku bisa
membunuhmu di atas-nya.” Rasulullah bersabda: “Bahkan akulah yang akan
membunuhmu, insya Allah.” Ketika Ubay bin Khalaf kembali kepada
orang-orang Quraisy dengan luka di kehernya yang tidak terlampau parah
dan darah pun telah berhenti, ia berkata: “Demi Allah, aku telah dibunuh
oleh Muhammad.” Orang-orang Quraisy berkata: “Demi Allah, engkau telah
kehilangan nyali. Bukankah engkau masih memiliki kekuatan?” Ubay bin
Khalaf berkata: “Ketika masih di Makkah, Muhammad pernah berkata
kepadaku ‘Aku akan membunuhmu’. Demi Allah, seandainya dia melu-dahiku,
niscaya ia bisa membunuhku dengan ludahnya.” Setelah itu Ubay bin Khalaf
menghembuskan nafasnya yang terakhir, dan orang-orang Quraisy membawa
mayatnya ke Makkah.
Ketika Rasulullah SAW., tiba di depan jalan menuju gunung Uhud, Ali
bin Abi Thalib RA., keluar menuju al-Mihras (sebuah tempat di Uhud),
untuk mengisi tempat air. Kemudian Ali membawanya kepada Rasulullah dan
beliau minum darinya. Karena mencium bau yang tidak sedap beliau tidak
jadi meminumnya. Beliau hanya mengusap darah pada wajah beliau dan
mengguyurkan air itu ke kepala, seraya bersabda: “Allah sangat marah
kepada orang yang melukai wajah nabi-Nya.” Rasulullah mendaki bebatuan
gunung dalam keadaan badan yang mulai melemah dan menge-nakan baju besi
di depan dan belakang badannya. Beliau berusaha terus mendaki namun
gagal. Kemudian Thalhah bin Ubaidillah duduk di ba-wah beliau lalu
berdiri hingga beliau bisa berdiri dengan tegak. Rasu-lullah bersabda:
“Thalhah pasti masuk Surga.” Beliau bersabda demikian karena apa yang
telah dilakukan Thalhah terhadap beliau.
Di antara orang yang terbunuh dalam perang Uhud adalah Mukhairiq. Ia
berasal dari Bani Tsa’labah bin al-Fithyaun. Ketika terjadi perang
Uhud, ia berkata: “Wahai orang-orang Yahudi, demi Allah kalian tidak
mengetahui bahwa membantu Muhammad adalah kewajiban kalian.” Orang-orang
Yahudi berkata, “Ini adalah hari Sabtu.” Mukhairiq berkata: “Tidak ada
hari Sabtu bagi kalian.” Setelah itu ia mengambil pedang dan perbekalan.
Ia berkata: “Jika aku mati, hartaku menjadi milik Muham-mad. Ia boleh
menggunakan sekehendaknya.” Kemudian ia berangkat menuju Rasulullah dan
berperang bersama beliau hingga terbunuh. Rasulullah SAW., bersabda:
“Mukhairiq adalah sebaik-baik orang Yahudi."
Abu Hurairah RA., berkata: “Ceritakan kepadaku orang yang masuk
Surga tanpa pernah mengerjakan shalat sekalipun. Jika orang-orang tidak
mengenalnya, mereka bertanya kepadanya (Abu Hurairah), ia menjawab bahwa
orang tersebut adalah Ushairim, seorang dari Bani Abdul Asyhal, yakni
Amr bin Tsabit bin Waqasy. Al-Hushain berkata: ‘Aku bertanya kepada
Mahmud bin Asad: “Bagaimana perihal keadaan Ushairim?” Dia menjawab:
“Sebelumnya Ushairim tidak menghendaki Islam tersebar di tengah kaumnya.
Namun ketika Rasulullah berangkat ke Uhud, tiba-tiba timbul keinginan
di hatinya untuk masuk Islam. Kemudian ia pun masuk Islam. Setelah itu
ia mengambil pedang dan berangkat ke Uhud hingga tiba di tengah
peperangan. Ia bertempur hingga terluka. Ketika orang-orang dari Bani
Abdul Asyhal mencari korban-korban mereka di perang Uhud, mereka
menemukan Ushairim. Mereka berkata: “Demi Allah ini adalah Ushairim,
mengapa mereka datang kemari? Sungguh kami tinggalkan ia karena ia tidak
mempercayai berita ini.” Maka mereka bertanya kepada Ushairim apa yang
menyebabkan ia datang ke Uhud. Mereka bertanya: “Apa yang mendorongmu
datang kemari, wahai Abu Amr, apakah karena kecintaanmu kepada kaummu
ataukah kecintaanmu kepada Islam?” Ushairim menjawab: “Aku datang karena
kecintaanku kepada Islam. Aku beriman kepada Allah dan Rasul-Nya serta
masuk Islam. Setelah itu aku mengambil pedang dan menyusul Rasulullah,
lalu bertempur hingga terluka seperti ini.” Tidak lama setelah itu
Ushairim menghembuskan nafas terakhirnya di hadapan mereka. Kemudian
mereka menyampaikan perihal Ushairim kepada Rasulullah dan beliau
bersabda: “Sungguh ia termasuk penghuni Surga.”
Amr bin Al-Jamuh adalah seorang laki-laki yang pincang. Ia memi-liki
empat orang anak seperti singa yang turut dalam berbagai peperangan
bersama Rasulullah. Di perang Uhud, anak-anaknya bermaksud mela-rangnya
ikut berperang seraya berkata: “Sesungguhnya Allah Ta’ala telah
memaafkanmu.” Amr bin al-Jamuh datang menemui Rasulullah dan berkata:
“Anak-anakku bermaksud melarangku berangkat bersamamu. Demi Allah, aku
berharap dapat menginjak Surga dengan kakiku yang pincang ini.”
Rasulullah bersabda: “Adapun engkau, sungguh Allah telah memaafkanmu dan
engkau tidak wajib berjihad.” Dan beliau bersabda kepada anak-anak Amr
bin al-Jamuh: “Kalian tidak berhak melarang ayah kalian. Mudah-mudahan
Allah memberinya mati syahid.” Setelah itu Amr bin al-Jamuh berangkat
jihad bersama Rasulullah dan gugur sebagai syahid di perang Uhud.
Hindun binti Utbah dan wanita-wanita Quraisy mencincang-cincang para
korban dari sahabat Rasulullah SAW., serta memotong hidung dan
telinga-telinga mereka. Bahkan Hindun binti Utbah menjadikan hidung dan
telinga para korban itu sebagai kalung dan gelang kaki. Sementara
gelang, kalung dan cincinnya ia berikan kepada Wahsyi, budak Zubair bin
Muth’im. Tidak puas sampai di siti, Hindun binti Utbah membelah hati
Hamzah bin Abdul Muththalib, lalu mengunyah dan hendak mene-lannya namun
tidak mampu. Kemudian ia memuntahkannya.
Al-Hulais bin Zabban saudara Bani Al-Harits bin Abdi Manat ada-lah
pemimpin ahabisy ketika itu. Ia berjalan melewati Abu Sofyan bin Harb
yang sedang memukul tulang rahang bawah Hamzah bin Abdul Muththalib
dengan tombak besi sambil berkata: “Rasakan ini hai orang durhaka!”
Al-Hulais berkata: “Hai orang-orang Bani Kinanah, inilah perilaku
pemimpin Quraisy terhadap anak pamannya. Tidakkah kalian melihat ia
telah mati?”
Abu Sofyan berkata: “Celakalah engkau, rahasiakan kejadian ini!
Karena ini merupakan sebuah kesalahan.” Ketika Abu Sofyan bin Harb
hendak pulang, ia naik ke atas gunung dan berteriak sekeras-kerasnya:
“Aku menang, sesungguhnya kekalahan telah terbalas, hidup Hubal, jayalah
agamamu!”
Lalu Rasulullah SAW., memerintahkan Umar bin Al-Khatthab RA:
“Berdirilah wahai Umar, jawablah seruan Abu Sofyan dan katakan kepadanya
bahwa Allah lebih tinggi dan lebih mulia. Tidak sama antara korban kami
yang masuk Surga dengan korban kalian yang masuk Neraka. Setelah Umar
bin Al-Khatthab menjawab seruan Abu Sofyan, maka ia berkata: “Kemarilah
engkau hai Umar!” Rasulullah berkata: “Datangilah ia wahai Umar, dan
lihatlah apa yang ia perbuat!”
Umar bin Al-Khatthab pun mendatangi Abu Sofyan. Abu Sofyan berkata
kepadanya: “Aku bersumpah demi Allah hai Umar, benarkah ka-mi telah
membunuh Muhammad?” Umar menjawab: “Sekali-kali tidak! Beliau sekarang
sedang mendengarkan ucapanmu!” Abu Sofyan berkata: “Engkau lebih jujur
dan lebih baik dalam pandanganku daripada Ibnu Qamiah yang berkata
kepada orang-orang Quraisy: “Aku telah membu-nuh Muhammad!”
Setelah itu Abu Sofyan berteriak: “Di antara korban-korban kalian
ada yang dicincang! Demi Allah aku tidak rela dan aku juga tidak marah,
aku tidak melarang dan tidak menyuruh perbuatan tersebut!” Ketika Abu
Sofyan beserta anak buahnya hendak kembali ke Makkah, ia berseru:
“Sungguh kita akan bertemu lagi di Badar tahun depan!” Rasulullah
ber-sabda kepada seorang sahabat: “Katakan ya! Dan kita mempunyai
per-janjian dengan mereka untuk bertemu!”
Kemudian beliau mengutus Ali bin Abi Thalib dan berkata kepada-nya:
“Pergilah dan mata-matai orang-orang Quraisy serta lihatlah apa yang
mereka kerjakan dan apa yang mereka inginkan. Jika mereka meletakkan
kuda-kuda mereka di sebelah selatan dan menaiki unta-unta berarti mereka
hendak pulang kembali ke Makkah. Namun jika mereka menaiki kuda-kuda
mereka dan menuntun unta-unta mereka berarti mereka hendak menuju ke
Madinah! Demi Allah yang jiwaku berada di tanganNya! Jika mereka hendak
menyerang Madinah, aku pasti akan kembali ke Madinah dan aku perangi
mereka di dalamnya.”
Ali bin Abi Thalib berkata: “Aku berjalan menelusuri jejak
orang-orang Quraisy dan melihat apa yang mereka kerjakan. Ternyata
mereka meletakkan kuda-kuda di sebelah selatan mereka dan menaiki
unta-unta mereka dan berjalan kembali ke Makkah.”
Setelah itu kaum muslimin mengurusi korban-korban mereka.
Ra-sulullah bersabda: “Siapa yang bersedia mewakiliku untuk melihat
apa-kah Sa’ad bin ar-Rabi’ masih hidup ataukah ikut terbunuh?” Salah
seorang dari kaum Anshar berkata: “Wahai Rasulullah, aku bersedia
me-wakilimu untuk melihat Sa’ad bin ar-Rabi’. Kemudian sahabat Anshar
itu mencarinya lalu mendapatinya terluka di antara para korban namun ia
masih hidup. Sahabat Anshar itu berkata kepada Sa’ad: “Sesungguhnya
Rasulullah memerintahkan aku untuk melihat apakah engkau masih hidup
ataukah turut menjadi korban? Sa’ad bin Ar-Rabi’ menjawab: “Aku termasuk
korban di antara para korban, sampaikan salamku kepada Rasulullah dan
katakan kepadanya bahwa Sa’ad bin Ar-Rabi’ berkata kepada Anda: Semoga
Allah membalas Anda dengan kebaikan atas jasa Anda sebaik-baik balasan
yang Allah berikan kepada seorang nabi karena umatnya. Dan juga
sampaikan salamku kepada kaummu serta katakan kepada mereka bahwa Sa’ad
bin ar-Rabi’ berkata kepada kalian bahwa kalian tidak memiliki udzur di
sisi Allah apabila Rasulullah terlepas dari perlindungan kalian
sementara di antara kalian masih ada yang hidup.”
Sahabat Anshar itu berkata: “Tidak lama setelah itu ia pun
meng-hembuskan nafas terakhir. Kemudian aku menemui Rasulullah dan
men-ceritakan perihal Sa’ad bin ar-Rabi’ kepada beliau.
Kemudian setelah itu Rasulullah keluar untuk mencari Hamzah bin
Abdul Muththalib. Beliau menemukannya di dasar lembah dalam keada-an
perut terbelah dan hatinya dicincang-cincang, hidung dan telinganya
dipotong-potong. Setelah melihat Hamzah, beliau bersabda: “Kalaulah
sekiranya tidak membuat Shafiyah bersedih dan menjadi sunnah
sepe-ninggalku, niscaya aku biarkan jenazah Hamzah bin Abdul Muthathalib
hingga menjadi santapan binatang-binatang buas dan burung-burung. Jika
Allah memberi kemenangan kepadaku atas kaum Quraisy, aku pasti akan
mencincang-cincang tiga puluh korban dari mereka.”
Ketika kaum muslimin melihat duka Rasulullah dan kemarahan beliau
atas perbuatan orang-orang Quraisy atas paman beliau, mereka berkata:
“Apabila Allah memberi kemenangan atas mereka pada satu hari nanti, kita
pasti akan mencincang-cincang mereka dengan pencincangan yang tidak
pernah dikerjakan oleh seorang Arab pun sebelumnya. Ibnu Abbas
meriwayatkan bahwa Allah menurunkan ayat berikut menanggapi ucapan
Rasulullah dan ucapan para sahabatnya:
“Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan
yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Akan tetapi jika kamu
bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang
sabar. Bersabarlah (hai Muhammad) dan tiadalah kesabaranmu itu melainkan
dengan pertolongan Allah dan janganlah kamu bersedih hati terhadap
(kekafiran) mereka dan janganlah kamu bersempit dada terhadap apa yang
mereka tipu dayakan.” (an-Nahl: 126-127)
Akhirnya Rasulullah memaafkan orang-orang yang menyincang Hamzah dan melarang melakukan penyincangan.
Rasulullah memerintahkan agar jenazah Hamzah bin Abdul Muth-thalib
ditutup dengan kain burdah kemudian dishalati. Beliau bertakbir sebanyak
tujuh kali. Setelah itu jenazah-jenazah yang lainnya diletakkan di
samping jenazah Hamzah bin Abdul Muththalib kemudian dishalati, hingga
akhirnya jenazah Hamzah bin Abdul Muththalib dishalati bersama mereka
sebanyak tujuh puluh dua kali.
Shafiyan binti Abdul Muththalib datang untuk melihat Hamzah bin
Abdul Muththalib, saudara kandungnya. Rasulullah bersabda kepada
az-Zubair bin Awwam, putra Shafiyah: “Temui ibumu dan suruh agar ia
pulang hingga tidak menyaksikan apa yang menimpa saudaranya.” az-Zubair
berkata kepada ibunya: “Ibu, sesungguhnya Rasulullah menyuruh-mu
pulang.” Shafiyah bertanya: “Mengapa Rasulullah menyuruhku pu-lang,
sedang aku mendengar berita bahwa saudaraku dicincang-cincang, dan itu
terjadi di jalan Allah? Tidak ada yang lebih melegakan dari hal itu. Aku
pasti mengharap pahala dari-Nya dan mampu bersabar, insya Allah.”
Az-Zubair menemui Rasulullah dan menceritakan perihal ibunya. Kemudian
beliau bersabda: “Biarkan dia!” Shafiyah pun melihat jenazah Hamzah bin
Abdul Muththalib dan ber-istirja’ (mengucapkan inna lillahi wa inna ilaihi raaji’un),
dan memintakan ampunan baginya. Setelah itu Rasulullah memerintahkan
agar jenazah Hamzah bi Abdul Muththalib dimakamkan. Pada mulanya
beberapa orang dari kaum muslimin ingin membawa korban mereka ke Madinah
dan dimakamkan di sana. Namun Rasulullah melarangnya, dan bersabda:
“Makamkan mereka di tempat mereka gugur.”
Diriwayatkan dari Abdullah bin Tsa’labah bahwa ketika Rasulullah
berdiri di hadapan para korban perang Uhud, beliau bersabda: “Aku
menjadi saksi atas mereka. Sesungguhnya seseorang yang terluka di jalan
Allah, dia akan dibangkitkan dalam keadaan lukanya berdarah, warnanya
warna darah dan aromanya laksana kesturi. Lihatlah siapa di antara
mere-ka yang paling banyak hafal al-Qur’an, dan letakkan ia di depan
sahabat-sahabatnya di tempat pemakaman.” Para sahabat memakamkan dua
atau tiga orang dalam satu liang.
Kemudian Rasulullah kembali ke Madinah. Beliau berjumpa dengan
Hamnah bintu Jahsy. Ketika Hamnah berjumpa dengan para sahabat dan
dikabarkan kepadanya tentang kesyahidan saudaranya Abdullah bin Jahsy,
ia pun ber-istirja’ dan memintakan ampunan baginya. Demikian juga
ketika dikabarkan kepadanya kesyahidan pamannya, Hamzah bin Addul
Muththalib, ia ber-istirja’ dan memohonkan ampunan baginya. Namun
ketika dikabarkan kepadanya kesyahidan suaminya, Mush’ab bin Umair, ia
berteriak dan mengucapkan kata-kata ratapan. Rasulullah SAW., bersada:
“Sesungguhnya seorang suami memiliki kedudukan tersendiri di hati
istrinya.” Karena beliau melihat Hamnah bisa bersabar atas kesya-hidan
saudara dan pamannya, namun meratap atas kesyahidan suaminya.
Selanjutnya Rasulullah berjalan melewati pemukiman kaum Anshar,
yakni pemukiman Bani Abdul Asyhal dan pemukiman Dzafar. Beliau mendengar
tangis dan ratapan atas korban-korban mereka. Air mata beliau pun tak
terbendung lagi. Setelah itu Rasulullah bersabda: “Namun Hamzah, tidak
ada yang menangisinya.” Ketika Sa’ad bin Muadz dan Usaid bin Hudhair
kembali ke pemukiman Bani Abdul Asyhal, keduanya memerintahkan para
wanita Bani Abdul Asyhal mengenakan ikat pinggang dan pergi menangisi
Hamzah bin Abdul Muththalib. Ketika Rasulullah mendengar tangis para
wanita itu atas Hamzah bin Abdul Muthalib, beliau keluar menemui mereka
di pintu masjid beliau, dan bersabda: “Kembalilah kalian, mudah-mudahan
Allah merahmati kalian. Sungguh kalian telah menyamakan Hamzah
sebagaimana korban-korban kalian.”
Rasulullah juga berjalan melewati seorang wanita Bani Dinar yang
kehilangan suami, saudara dan ayahnya di perang Uhud. Ketika kabar itu
disampaikan kepadanya, ia berkata: “Bagaimana dengan kabar Rasu-lullah?”
Para sahabat menjawab: “Beliau baik-baik saja, wahai ibu Fulan.
Alhamdulillah beliau sebagaimana yang engkau harapkan.” Wanita itu
berkata: “Tunjukkan Rasulullah supaya aku bisa melihat beliau.”
Kemu-dian ia dibawa menghadap Rasulullah. Setelah melihat beliau, ia
berkata: “Segala musibah setelahmu adalah kecil artinya.”
Setibanya di rumah Rasulullah menyerahkan pedang beliau kepada
Fathimah, putri beliau, seraya bersabda: “Cucilah darah dari pedang ini!
Demi Allah ia telah jujur kepadaku hari ini.” Ali bin Abi Thalib juga
me-nyerahkan pedangnya kepada Fathimah sambil berkata; “Tolong
bersih-kan juga pedangku ini! Sungguh ia telah jujur kepadaku hari ini.”
Rasu-lullah bersabda: “Jika engkau berperang dengan jujur, sungguh Sahl
bin Hunaif dan Abu Dujanah juga jujur bersamamu.”
Perang Uhud terjadi pada hari Sabtu tanggal lima belas bulan
Sya-wal. Keesokan harinya tanggal enam belas, penyeru Rasulullah memberi
kepada kaum muslimin untuk mengejar musuh dan bahwasanya yang
diperintahkan untuk keluar adalah mereka yang keluar bersama kami
kemarin di perang Uhud. Jabir bin Abdullah bin Amr bin Haram berkata
kepada Rasulullah: “Wahai Rasulullah, ayahku menyuruhku untuk men-jaga
tujuh orang saudara perempuanku dan ia berkata kepadaku: “Anak-ku, tidak
selayaknya kita meninggalkan ketujuh saudaramu tanpa ada seorang
laki-laki pun bersama mereka. Dan aku tidak ingin menganak-emaskanmu
daripada diriku dengan ikut berjihad bersama Rasulullah. Karena itu
tinggallah engkau bersama ketujuh orang saudara perempuan-mu. Maka aku
pun tinggal bersama ketujuh saudaraku.” Akhirnya Rasulullah
mengizinkannya pergi bersama beliau. Beliau bersama para saha-bat
mengejar musuh untuk menakut-nakuti mereka, agar mereka berke-simpulan
bahwa beliau masih memiliki kekuatan dan apa yang menimpa para sahabat
tidak melemahkan semangat mereka. Rasulullah beserta para sahabat
berjalan hingga tiba di Hamraul Asad yang berjarak delapan mil dari
Madinah. Beliau tinggal di Hamraul Asad pada hari Selasa, Rabu dan
Kamis, kemudian kembali ke Madinah.
Ma’bad bin Abi Ma’bad dari Al-Khuza’i berjalan melewati Rasu-lullah.
Ketika itu Khuza’ah, berikut penduduknya baik yang muslim mau-pun kafir
merupakan tempat persembunyian Rasulullah. Beliau mem-punyai perjanjian
dengan mereka bahwa mereka tidak akan menyembu-nyikan segala sesuatu
yang terjadi di sana. Ketika itu, Ma’bad bin Abi Ma’bad masih musyrik.
Ia berkata: “Wahai Muhammad, demi Allah ka-mi turut bersedih atas apa
yang menimpa sahabat-sahabatmu. Dan kami berharap semoga Allah
menyelamatkanmu di tengah-tengah mereka.” Setelah itu ia pergi
–sementara Rasulullah tetap tinggal di Hamra’ul Asad– sampai dia bertemu
dengan Abu Sofyan bin Harb beserta anak buahnya di Rauha’ (sebuah desa
yang terletak sejauh perjalanan dua malam dari Madinah) yang bermaksud
balik menghadapi Rasulullah dan para sahabatnya. Mereka berkata: “Kita
telah mengalahkan sahabat-sahabat Muhammad, para tokoh dan pemimpin
mereka. Mengapa kemu-dian kita pulang tanpa membasmi mereka hingga
habis?” Kita pasti akan kembali dan menghabisi mereka.”
Ketika melihat Ma’bad bin Abi Ma’-bad, Abu Sofyan berkata: “Berita
apa yang engkau bawa wahai Ma’bad?” Ma’bad menjawab: “Muhammad mengejar
kalian bersama sahabat-saha-batnya yang belum pernah aku lihat
sebelumnya karena marah kepada kalian. Sahabat-sahabatnya yang tidak
ikut serta dalam perang Uhud, semua bergabung dengannya dan menyesal
tidak turut berperang. Mereka sangat marah kepada kalian dan aku tidak
pernah melihat kemarahan seperti itu sebelumnya.” Abu Sofyan berkata:
“Celaka engkau, apa yang engkau katakan ini?” Ma’bad berkata: “Demi
Allah, aku berpendapat hendaknya engkau kembali hingga engkau melihat
kepala kuda mening-gi.” Abu Sofyan berkata: “Demi Allah kami telah
bersepakat untuk kem-bali ke tempat mereka dan menghabisi sisa-sisa
mereka.” Ma’bad berka-ta: “Aku sarankan agar engkau tidak melakukannya.
Demi Allah, sung-guh apa yang aku lihat membuat aku melantunkan
sya’ir-sya’ir tentang mereka.” Abu Sofyan berkata: “Bagaimana sya’ir
yang engkau lantun-kan?” Ma’bad menjawab: “Aku katakan:
“Hewan tungganganku nyaris tumbang karena suara-suara
Ketika bumi mengalir dengan kuda-kuda yang pendek rambutnya berkelompok-kelompok
Kuda-kuda itu lari dengan singa-singa mulia yang tidak pernah kehilangan nyali di medan pertempuran
Tidak satu pun orang tanpa senjata yang mampu bertahan di atas pelana kuda
Aku terus berlari karena aku sangka bumi telah leleh
Ketika mereka naik kepada kita dengan pemimpin yang pantang mundur
Aku katakan: ‘Celakalah anah Harb jika bertemu dengan kalian
Jika bumi bergetar dengan sekelompok manusia
Aku ingatkan penduduk tanah suci secara terbuka
Bagi setiap orang yang masih memiliki akal
Dari pasukan Ahmad yang tidak ada di dalamnya orang kelas gembel
Apa yang kukatakan ini bukanlah omong kosong.”
Syair-syair itu menggoyahkan keinginan Abu Sofyan beserta anak buahnya untuk kembali ke Madinah.
Ketika serombongan musafir dari Bani Abdul Qais berjalan mele-wati
Abu Sofyan bin Harb, ia pun bertanya kepada mereka: “Hendak per-gi ke
mana kalian?’ Mereka menjawab: “Ke Madinah.” Abu Sofyan ber-kata: “Untuk
apa kalian pergi ke Madinah?” Mereka menjawab: “Kami hendak pergi ke
al-Mirah.” Abu Sofyan berkata: “Maukah kalian me-nyampaikan suratku
kepada Muhammad? Jika kalian bersedia, aku akan memikulkan anggur ini ke
pasar Ukadz besok pagi.” Mereka menjawab: “Ya.” Abu Sofyan berkata:
“Jika kalian setuju, sampaikan kepada Mu-hammad bahwa kami telah
bersepakat untuk balik kepadanya dan para sahabatnya untuk membasmi
seluruh sisa-sisa mereka.” Ketika rombong-an musafir itu berjumpa dengan
Rasulullah SAW., di Hamra’ul Asad dan me-nyampaikan apa yang dikatakan
Abu Sofyan bin Harb beserta anak buah-nya, beliau bersabda; “Cukuplah
Allah bagi kita dan Dia adalah sebaik-baik pemelihara.”
Sebelum kembali ke Madinah Rasulullah menangkap Muawiyah bin
al-Mughirah dan Abu Izzah al-Jumahi. Rasulullah pernah menawan Abu Izzah
al-Jumahi pada perang Badar, namun kemudian membebas-kannya. Ia
berkata; “Wahai Rasulullah, bebaskan aku!’ Rasulullah SAW., bersabda:
“Tidak, demi Allah, engkau tidak akan bisa lagi membasuh kedua sisi
badanmu di Makkah, dan tidak lagi bisa bekata: ‘Aku telah menipu
Muhammad dua kali. Penggal lehernya wahai Zubair!” Maka Zubair pun
memenggal leher Abu Izzah al-Jumahi.
Selanjutnya Rasulullah kembali ke Madinah. Ketika itu Abdullah bin
Ubay bin Salul memiliki tempat berdiri di setiap hari Jum’at, dan tidak
seorang pun yang mengingkari kemuliaannya di tengah kaumnya. Ia memang
seorang yang berkedudukan di tengah mereka. Jika Rasulullah duduk dari
khutbah Jum’at, Abdullah bin Ubay bin Salul berdiri dan berkata: “Wahai
manusia, inilah Rasulullah di tengah-tengah kalian. Dengannya Allah
memuliakan dan memenangkan kalian. Oleh karena itu tolong dan bantulah
ia, dengar dan taatlah kepadanya!” Kemudian ia duduk. Setelah ia membuat
ulah di Perang Uhud dan kaum muslimin kembali dari Perang Uhud, ia
melakukan hal yang serupa. Namun kaum muslimin menarik bajunya dari
segala sisi dan berkata kepadanya: “Duduklah hai musuh Allah! Demi Allah
engkau tidak layak berbuat seperti itu lagi. Engkau telah berbuat
durhaka sebelum ini.” Abdullah bin Ubay bin Salul berjalan di
tengah-tengah manusa sambil berkata: “Demi Allah, aku berkata tentang
suatu perkara yang besar ketika aku berdiri mengatakan urusannya
(Rasulullah SAW.,).” Salah seorang dari kaum Anshar bertemu dengan
Abdullah bin Ubay bin Salul di pintu masjid, kemudian berkata:
“Celakalah Engkau, apa yang terjadi dengan dirimu?’ Ia menjawab: “Aku
berdiri menguatkan urusannya, kemudian salah seorang dari sahabatnya
meloncat ke arahku, ia menarik bajuku dan berbuat kasar kepadaku,
seakan-akan aku melakukan kejahatan yang besar.” Sahabat Anshar itu
berkata: “Celaka engkau, mintalah kepada Rasulullah agar memintakan
ampunan untukmu.” Abdullah bin Ubay bin Salul menjawab: ‘Demi Allah, aku
tidak butuh dia memintakan ampunan untukku.”
Ibnu Ishaq berkata: “Perang Uhud adalah ujian dan pembersihan.
Dengannya Allah menguji kaum mukminin dan membongkar kedok orang-orang
munafik yang menampakkan keimanan dengan lisan namun menyembunyikan
kekafiran di hati mereka. Dan hari dimana Allah Ta’ala memuliakan para
wali-Nya yang Dia kehendaki gugur sebagai syuhada’.
Home
»
»Unlabelled
» Perang Uhud 2
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment