Abu Thâlib wafat
Sakit yang dialami oleh Abu Thâlib semakin payah, maka tak lama dari
itu dia menemui ajalnya, yaitu pada bulan Rajab tahun 16 H dari
kenabian setelah enam bulan keluar dari syi’b nya. Ada riwayat yang
menyebutkan bahwa dia wafat pada bulan Ramadhan, tiga hari sebelum
Khadijah radhiallaahu 'anha wafat.
Dalam kitab ash-Shahîh dari (Sa’id) bin al-Musayyib disebutkan bahwa
ketika Abu Thâlib dalam keadaan sekarat, Nabi Shallallâhu 'alaihi
wasallam mengunjunginya sementara disisinya sudah berada Abu Jahl.
Beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam bertutur kepadanya: “wahai
pamandaku! Katakanlah: Lâ ilâha illallâh, kalimat ini akan aku jadikan
hujjah untukmu di sisi Allah”.
Namun Abu Jahl dan ‘Abdullah bin Abi Umayyah memotong: “wahai Abu
Thâlib! Sudah bencikah engkau terhadap agama ‘Abdul Muththalib?.
Keduanya terus mendesaknya demikian, hingga kalimat terakhir yang
diucapkannya kepada mereka adalah “aku masih tetap dalam agama ‘Abdul
Muththalib”.
Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam berkata: “aku akan memintakan
ampunan untukmu selama aku tidak dilarang melakukannya”, tetapi kemudian
turunlah ayat: Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang
beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik,
walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat(nya), sesudah jelas
bagi mereka, bahwasannya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka
Jahannam. (Q,.s. 9/at-Taubah:113).
Demikian pula, turun ayat: “sesungguhnya kamu tidak akan dapat
memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi…”. (Q,.s.28/al-Qashash:
56).
Kiranya, tidak perlu dijelaskan betapa pengorbanan dan perlindungan
yang diberikan oleh Abu Thâlib. Dia adalah benteng, tempat berlindungnya
dakwah islamiyah dari serangan para pembesar dan begundal Quraisy, akan
tetapi sayang, dia tetap memilih agama nenek moyangnya sehingga sama
sekali tidak membawanya meraih kemenangan.
Dalam kitab ash-Shahîh dari al-‘Abbas bin ‘Abdul Muththalib, dia
berkata kepada Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam : “apakah engkau tidak
mempedulikan pamanmu lagi, padahal dialah yang melindungimu dan
berkorban untukmu?”. Beliau bersabda: “dia berada di neraka yang paling
ringan, andaikata bukan karenaku (karena sikapnya melindungi beliau-red)
niscaya dia sudah berada di neraka yang paling bawah”.
Dari Abi Sa’îd al-Khudriy bahwasanya dia mendengar Nabi Shallallâhu
'alaihi wasallam bersabda: “semoga saja syafa’atku bermanfa’at baginya
pada hari kiamat, lalu dia ditempatkan di neraka paling ringan yang
(ketinggiannya) mencapai dua mata kaki (saja)”. Ada riwayat yang
menyebutkan bahwa ketika beliau mengucapkan itu, pamannya berada
disisinya.
Khadijah berpulang ke rahmatullah
Setelah dua bulan atau tiga bulan dari wafatnya, Abu Thâlib, Ummul
Mukminin, Khadijah al-Kubra radhiallaahu 'anha pun wafat. Tepatnya, pada
bulan Ramadhan tahun 10 H dari kenabian dalam usia 65 tahun sedangkan
Rasulullah ketika itu berusia 50 tahun.
Sosok Khadijah merupakan nikmat Allah yang paling agung bagi
Rasulullah. Selama seperempat abad hidup bersamanya, dia senantiasa
menghibur disaat beliau cemas, memberikan dorongan di saat-saat paling
kritis, menyokong penyampaian risalahnya, ikut serta bersama beliau
dalam rintangan yang menghadang jihad dan selalu membela beliau baik
dengan jiwa maupun hartanya.
Untuk mengenang itu, Rasulullah bertutur:”dia telah beriman kepadaku
saat manusia tidak ada yang beriman, dia membenarkanku di saat manusia
mendustakan, dia memodaliku dengan hartanya di saat manusia tidak
menahannya, Allah mengkaruniaiku anak darinya sementara Dia Ta’ala tidak
memberikannya dari isteri yang lainnya”.
Di dalam kitab ash-Shahîh dari Abu Hurairah, dia berkata: “Jibril
'alaihissalâm mendatangi Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam sembari
berkata: ‘wahai Rasulullah! inilah Khadijah, dia telah datang dengan
membawa lauk-pauk, makanan atau minuman; bila dia nanti mendatangimu,
maka sampaikan salam Rabbnya kepadanya serta beritakan kepadanya kabar
gembira perihal rumah untuknya di surga yang terbuat dari bambu yang
tidak ada kebisingan dan juga menguras tenaga di dalamnya.
Kesedihan datang silih berganti
Dua peristiwa sedih tersebut berlangsung dalam waktu yang relatif
berdekatan, sehingga perasaan sedih dan pilu menyayat-nyayat hati
Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam. Kemudian, cobaan demi cobaan
terus datang secara beruntun pula dari kaumnya. Sepeninggal Abu Thâlib,
nampaknya mereka semakin berani terhadap beliau, mereka dengan
terang-terangan menyiksa dan menyakiti beliau. Lengkap sudah, kesedihan
yang dialaminya halmana membuat beliau hampir putus asa untuk mendakwahi
mereka. Karenanya, beliau pergi menuju kota Thâ-if dengan harapan
penduduknya mau menerima dakwah beliau, melindungi dan menolong beliau
melawan perlakuan kaumnya namun beliau sama sekali tidak melihat ada
seroangpun yang mau melindungi dan menolong. Bahkan sebaliknya, mereka
menyiksa dan memperlakukannya dengan yang lebih sadis dari apa yang
dilakukan oleh kaumnya sendiri.
Siksaan yang begitu keras tidak saja dialami Nabi, tetapi para
shahabatnyapun ikut mendapatkan jatah. Hal ini membuat teman akrab
beliau, Abu Bakar ash-Shiddiq radhiallaahu 'anhu berhijrah dari Mekkah.
Manakala dia sudah mencapai suatu tempat yang bernama Bark al-Ghumâd
dengan tujuan utama ke arah Habasyah, Ibnu ad-Daghinnahnya mengajaknya
pulang dan memberinya suaka.
Ibnu Ishâq berkata: “ketika Abu Thâlib wafat, kaum Quraisy menyiksa
Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam dengan siksaan yang semasa
hidupnya tidak berani mereka lakukan. Lebih dari itu, salah seorang
begundal Quraisy menghalangi jalan beliau, lalu menaburi debu ke arah
kepala beliau. Tatkala beliau masuk rumah dalam kondisi demikian, salah
seorang anak perempuan beliau menyongsongnya dan membersihkan debu
tersebut sembari menangis. Beliau berkata kepadanya: “jangan menangis
duhai anakku! Sesungguhnya Allah lah Yang akan menolong ayahandamu”.
Ibnu Ishâq melanjutkan: “beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam selalu
berkata bila mengingat hal itu: ‘Tidak pernah aku mendapatkan suatu
perlakuan yang tidak aku sukai dari Quraisy hingga Abu Thâlib wafat’ ”.
Dikarenakan beruntunnya kesedihan demi kesedihan pada tahun ini,
maka disebutlah dengan “Tahun Kesedihan”, sehingga sebutan ini lebih
dikenal di dalam buku-buku Sirah dan Tarikh.
Menikah dengan Saudah -radhiallaahu 'anha-
Rasulullah menikah dengan Saudah binti Zam’ah pada bulan Syawwal tahun 10 kenabian -yakni di tahun ini juga-.
Saudah termasuk wanita yang masuk Islam lebih dahulu, ikut serta
dalam hijrah yang kedua ke Habasyah. Suaminya terdahulu bernama
as-Sakrân bin ‘Amru yang juga masuk Islam dan berhijrah bersamanya serta
wafat di negeri Habasyah. Ada riwayat yang menyebutkan dia wafat
sepulangnya ke Mekkah.
Ketika dia sudah melewati masa ‘iddah, barulah Rasulullah
Shallallâhu 'alaihi wasallam melamar dan menikahinya. Dia adalah wanita
pertama yang dinikahi oleh beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam
sepeninggal Khadijah, lalu setelah beberapa tahun berselang dia
menghadiahkan “giliran” nya kepada ‘Aisyah radhiallaahu 'anha
Home
»
»Unlabelled
» Tahun Kesedihan
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment